Harapan |
“Menurutmu, mengapa
ada banyak hal-hal yang tidak kita mengerti di dunia ini?” Tanyamu.
“Mungkin agar kita bisa belajar sesuatu.” Jawabku.
Kita terdiam sebentar. Membiarkan angin menggerakan beberapa
dedaunan, sisanya meniup awan menjadi gumpalan-gumpalan. Kamu berjalan ke
depan, aku tertinggal satu setengah langkah dari belakang.
“Apa pendapatmu tentang harapan?” tanyaku.
“sumber kekecewaan, eh?” jawabmu sambil menoleh ke
arahku. “Kecewa itu dibuat dari jarak harapan dan kenyataan.”
***
Ada banyak hal yang tidak kita pahami di dunia ini. Sesuatu
seperti berharap, kecewa, atau jarak diantara keduanya.
Berharap artinya menandai keadaan yang lebih ideal di masa
depan. Barangkali jika pada waktunya masa depan itu datang, ia akan memiliki
dua nama. Jika sesuai harapan, ‘puas’ namanya. Namun, jika tidak sesuai dengan
harapan, barangkali ia berubah nama menjadi ‘kecewa’.
***
“Ada sesuatu yang tidak kupahami.” Katamu sambil
menghentikan langkah. “Kadang saat aku tak berharap banyak, justru aku mendapatkan
apa yang aku harapkan. Tapi justru saat aku berharap banyak, harapan itu tak
kunjung datang.”
“Kira-kira apa sebabnya?” tanyaku.
“Entahlah...” katamu.
Langkah kita dihentikan persimpangan. Awan-awan masih
mengumpulkan dirinya sendiri menjadi mendung. Beberapa orang sibuk berlarian,
sisanya masih tenang menyiapkan ruang teduh di bawah dedaunan.
“Apa yang kamu harapkan dari awan di atas ini?”
tanyamu. Matamu memberi isyarat ke atas.
“Kembali cerah, eh?” aku mengangkat bahu. Sedikit
ragu.
“Apa yang kamu ingin lakukan jika awan kembali cerah?” tanyamu
lagi.
“Mungkin jalan-jalan.” Aku menyipitkan mata ke
arahmu.
***
Barangkali sebuah harapan akan meningkatkan semangatmu 33,5%
tentang masa depan. Tapi perlu dicatat, harapan hanya boleh dikonsumsi sesuai
dosis normal. Tak boleh berlebihan. Jika tidak, semangatmu akan hilang ke
tempat yang tidak kamu ketahui. Suatu tempat yang sama dengan angka 33,5% itu
berasal.
Begitulah cara harapan bekerja.
Mungkin hal Itu yang membuat para petani terus menanam, sekalipun tak ada satu
orang pun yang menjamin ia akan memanen di masa depan. Atau mungkin hal Itu
yang membuat para guru terus mengajar, sekalipun tak ada satu orang pun yang
menjamin murid-muridnya di masa depan nanti menjadi orang baik-baik.
Tak ada masalah dengan harapan,
selama kita bisa menyikapinya; bersyukur jika harapan itu datang, bersabar jika
harapan itu tak kunjung jadi kenyataan.
***
“apa harapanmu tentang seseorang yang akan menjadi
jodohmu?” tanyaku.
“eh?” katamu. Bingung dengan pertanyaanku. Kamu
berusaha mengatur nafasmu.
“Saat harapan itu berpilin
dalam perasaan cinta, Barangkali harapan yang tak mengandung kecewa
bukan harap dengan bentuk “dia menjadi milik kita”, namun sesuatu seperti “apa
saja nanti takdirnya, semoga saja ia bahagia”. Katamu.
“Kamu terlihat pasrah.” Kataku.
Kini wajahmu memerah.
“Sebaik-baik harapan adalah
harapan yang ditujukan pada Tuhan. Komunikasikan dengan doa” Kataku lagi.
“Mengapa harus berharap dengan memanjatkan doa? Bukankah
Tuhan tahu segalanya, termasuk apa yang kita harapkan?” tanyamu.
“Tentu saja, Ia selalu Tahu apa yang kita harapkan”.
Jawabku. “Namun harapan itu harus tetap kita panjatkan, sebagai bentuk
ibadah kita dan agar ia ridha dengan apa saja keinginan kita.”
Kamu menunduk seperti sedang menyesali sesuatu. Diatas
kepalamu ada berkas cahaya sedang menembus lapisan awan-awan. Kini langit lebih
cerah sekalipun masih teduh berawan. Beberapa orang sibuk kembali berjalan di
trotoar, badan jalan atau apa saja.
“Ada yang salah dengan kata-kataku?” aku bertanya
padamu. Kamu masih menunduk seperti memikirkan sesuatu.
“tidak ada.” Katamu. “Aku sedang menyelipkan harap
pada doa-doaku.”
“apa itu?” tanyaku. Aku menyipitkan mata ke arahmu.
“Kamu tak boleh tahu, ini rahasia aku dan Tuhanku.” Jawabmu.
0 Komentar