Advertisement

Responsive Advertisement

Kita Semua Pernah Kecewa, tapi Mungkin Bukan Salah Mereka

Saya pernah berpikir bahwa satu-satunya yang dinilai dari seseorang adalah kontribusinya. Tapi ternyata, dunia tidak selalu bekerja seperti itu.

Awalnya, saya terbiasa memilih pakaian yang rapi setiap hari. Warna dan modelnya bervariasi, mengikuti kebiasaan di sekitar. Tapi seiring waktu, saya mulai merasa lelah dengan banyaknya keputusan kecil yang harus dibuat setiap hari.

Salah satu cara saya menghemat energi adalah dengan menyederhanakan pilihan. Saya memilih baju dengan warna yang sama setiap hari. Tak lagi bingung di pagi hari, tak membuang waktu untuk hal-hal sepele.

Ternyata, keputusan kecil itu mengundang perhatian. Komentar demi komentar berdatangan. "Seperti sales lapangan," kata seorang teman. Yang lain membandingkan saya dengan mereka yang selalu tampil rapi. Saya diam. Tapi dalam hati, saya merasa direndahkan. Bukankah yang seharusnya dihargai adalah apa yang saya lakukan, bukan apa yang saya pakai?

Saya mencoba mengabaikannya, tapi kata-kata itu tetap terngiang. Saya berbicara pada diri saya sendiri, mencoba menenangkan hati. 

Hari berganti, tapi rasa tak nyaman itu masih ada. Hingga suatu pagi, saya berjalan-jalan dengan Ashraf. Ia mengayuh sepedanya dengan riang, sementara saya melangkah pelan sambil mendengarkan ceramah.

Tema hari itu adalah tentang kelapangan dada. Ustadz yang berbicara mengatakan sesuatu yang menancap kuat di benak saya: "Jika seseorang menyakitimu, mungkin itu adalah pengingat bahwa kau pun pernah menyakiti orang lain." Kata-kata itu membuat saya diam sejenak. Mungkin benar. Mungkin ini bukan tentang mereka, tapi tentang saya yang harus belajar menerima.

Tapi tetap saja, ada pertanyaan yang mengganjal. Kenapa rasanya lebih sulit memaklumi orang-orang yang berpendidikan tinggi? Seharusnya mereka lebih paham, lebih bijaksana.

Tapi akhirnya saya menemukan jawabannya-- karena saya berekspektasi lebih tinggi pada mereka. Padahal, pendidikan hanyalah alat, bukan jaminan bahwa seseorang akan selalu bertindak dengan baik.

Ekspektasi itu seperti timbangan. Terlalu berat, kita kecewa. Terlalu ringan, kita kehilangan arah. Kuncinya ada pada keseimbangan. Kita bisa berharap, tapi tidak bisa memaksakan.

Kita bisa mengendalikan usaha sendiri, tapi tidak bisa mengendalikan sikap orang lain.

Jika ingin menggantungkan harapan, lebih baik pada sesuatu yang pasti—pada Allah saja. Dia takkan membuatmu kecewa.

Hari itu saya belajar sesuatu. Bahwa kadang, yang perlu diubah bukan orang lain, tapi cara kita melihat mereka.

Kalau kita berharap seseorang akan bertindak bijak, itu wajar. Namun,  kalau kita mengharuskan mereka untuk selalu sempurna, kita hanya sedang menyiapkan kekecewaan bagi diri sendiri.

Foto oleh Rachel Claire





Posting Komentar

0 Komentar