Saya masih ingat hari itu. Hari ketika saya tenggelam dalam lautan tugas yang terus menerus datang tanpa henti. Inventory menumpuk di gudang, semua rekan kerja terasa menekan, dan tugas-tugas terus bermunculan.
Saya mencoba menyelesaikan semuanya. Tetapi semakin saya berusaha, semakin saya merasa tak ada yang benar-benar selesai.
Saya merasa overwhelmed. Rasanya seperti berdiri di tengah badai tanpa tempat berteduh, sendirian.
Strategi turn around yang harus dijalankan menuntut saya untuk melakukan juggling dengan tiga bola sekaligus: mencapai goal perusahaan, mengubah business process, dan membangun kebiasaan baru dalam tim. Namun, di tengah semua itu, saya merasa semakin jauh dari solusi yang nyata.
Lalu, saya mengingat ceramah dari Ustadz Salim A Fillah. Ada satu kalimat yang menghentikan saya: "Task management yang sangat relevan dengan dunia laki-laki ada dalam Surah Al-Insyirah ayat 7." Ayat itu berbunyi, fa idza faraghta fanshab—maka apabila engkau telah selesai dari satu urusan, kerjakanlah urusan berikutnya dengan sungguh-sungguh.
Saya merenung. Otak laki-laki memang tidak dirancang untuk multitasking seperti otak perempuan. Selama ini, saya mencoba melakukan semuanya sekaligus, tanpa benar-benar menyelesaikan satu pun. Saya sadar, inilah task management yang Allah ajarkan: one by one.
Maka, Saya mulai mengubah cara bekerja. Saya memaksa semua tugas untuk berbaris rapi, satu per satu, dalam antrian.
Saya memilahnya berdasarkan tingkat urgensinya. Saya membaginya dalam empat kategori:
1. Tugas yang mudah dikerjakan dan berdampak besar.
2. Tugas yang sulit dikerjakan tapi dampaknya besar.
3. Tugas yang mudah dikerjakan tapi kurang berdampak.
4. tugas yang sulit dikerjakan tapi sebenarnya kurang berdampak.
Saya memulai dari yang mudah tetapi berdampak besar, lalu berlanjut ke yang sulit namun berdampak. Dua kategori terakhir? Saya mempertanyakan ulang. Apakah benar-benar perlu dikerjakan? Jika tidak, maka saya membuangnya. Sebagian besar tugas ini ternyata hanya lahir dari keinginan yang menggebu-gebu, bukan dari akar masalah.
Setelah tugas-tugas ini terstruktur, saya mulai melihat petanya. Ada tugas yang bisa saya kerjakan sendiri, ada yang membutuhkan bantuan tim. Di titik ini, saya teringat ceramah Ustadz Rendy tentang perbandingan pertumbuhan Islam di Mekah dan Madinah.
Sebelum hijrah, dalam 13 tahun, jumlah pemeluk Islam berkisar 200 orang. Sebabnya karena di Mekah, Nabi Muhammad ï·º mengalami tekanan luar biasa dari kaum Quraisy hingga sulit melakukan konsolidasi sumber daya.
Tapi di Madinah, beliau bisa mengatur semuanya dalam platform Masjid Nabawi, dan dari sana Islam berkembang pesat. Dalam 10 tahun, pemeluk Islam melonjak ke angka 124.000 orang.
Saya sadar, jika ingin tim ini bekerja dengan baik, saya harus melakukan hal yang sama. Saya harus mengonsolidasikan sumber daya dan memusatkannya ke satu platform.
Saya melakukan reset pada semua tugas tim. Saya melakukan workload analysis—menilai kembali siapa yang seharusnya mengerjakan apa, berapa banyak waktu yang tersedia, dan tugas mana yang tidak lagi relevan. Saya mengatur ulang semuanya dengan satu aturan sederhana:
"Kamu boleh melakukan apapun, tapi tidak ada yang boleh pulang sebelum semua tugasnya selesai."
Awalnya, tim menolak. Mereka defensif ketika saya mengkritik tugas yang tidak dikerjakan. Mereka menganggap ini hanyalah perubahan sesaat. Namun, saya melakukan pengecekan tiga kali sehari untuk memastikan semua tugas dikerjakan. Perlahan, mereka mulai memahami pola kerja baru ini.
Untuk menjaga koordinasi, saya menggunakan Todoist—sebuah aplikasi to-do list yang memungkinkan tim bekerja secara sistematis. Semua tugas dituliskan di sana, termasuk brief, benchmark, dan ruang diskusi. Di sana, tim tak lagi bingung seperti di WhatsApp yang membuat pesan tertumpuk dan hilang dalam percakapan lain.
Seiring waktu, segalanya berubah. Dari sisi mental, saya merasa lebih sehat. Dari sisi produktivitas, di tahun pertama, tim berhasil mengembalikan efektivitas operasional. Tahun kedua, kami mencetak rekor capaian sepanjang masa di perusahaan. Tahun ketiga, semuanya berjalan semakin baik. Hubungan di tim pun tetap terjaga—kami memang lebih serius saat bekerja, tetapi di luar jam kerja, kami tetap bercanda dan berinteraksi seperti biasa.
Saya semakin yakin bahwa Al Quran memanglah petunjuk hidup sesungguhnya. Selama ini, saya terlalu sok tahu, terlalu menjadikan buku manajemen sebagai panduan utama, merasa bisa menemukan solusi sendiri dengan mengabaikan petunjuk-Nya. Padahal, task management yang terbaik sudah ada dalam Al-Quran sejak 1400 tahun lalu.
Dan saya baru menyadarinya sekarang.
0 Komentar