Jum’at(21/12)
Kota Bandung diguyur hujan yang deras, karena ulah sebagian manusia, jalan-jalan
kota menjadi banjir, semua isi selokan keluar mengarak ke jalan bak hewan
yang terusik dari sarangnya. Sudah lebih dari sepekan beberapa kota besar di
Indonesia dilanda banjir yang mengindikasikan kurangnya kesiapan dalam
menghadapi musim hujan. Banyak masyarakat dirugikan, para pedagang tak bisa
berdagang seperti biasanya karena gerobak tempat berjualan terendam banjir,
banyak anak sekolah tidak bisa belajar di ruang kelas karena air masuk kelas
sampai betis orang dewasa, dan pengguna jalan raya tidak bisa melintas dengan
lancar.
Banjir
ini adalah salah satu dari penyebab kacaunya lalu lintas di samping banyaknya
sebab-sebab yang lain. Saat banjir ini, para pengendara muncul sifat aslinya
masing-masing dalam berkendara. Indikasinya banyak pengendara yang saling
serobot jalan, menerobos lampu merah, berhenti di tempat yang tidak tepat dan perilaku
lain yang mencerminkan pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran lalu lintas ini
berdampak pada kenyamanan publik yang merupakan kebutuhan yang
sangat mendasar.
Dari
fenomena ini, apa sebenarnya peran mahasiswa, khususnya mahasiswa yang
konsentrasi dalam bidang pendidikan untuk memperbaiki keadaan yang sudah ‘kronis’
menggerogoti kesadaran masyarakat dalam berkendara? Prof.Dr.Mohamad Surya dalam
bukunya Bunga Rampai Guru dan Pendidikan (2004:48) menjelaskan tentang
guru masa depan: “Guru dipandang sebagai orang tua di sekolah, dan orang tua sebagai
guru di rumah.”
Kata-kata
ini mengandung makna bahwa guru(baca: mahasiswa pendidikan) yang merupakan
komponen pendidikan terpenting memiliki fungsi tidak hanya di dalam ruang
kelas, namun di luar kelas pun masih menjadi seorang guru yang dalam ungkapan
Bahasa Sunda berarti “digugu, ditiru(ditaati, dituruti)”, ini artinya
dalam konteks berkendara pun seorang civitas akademika harus
mencerminkan perilaku yang patut untuk ditiru. Guru yang ideal dalam berkendara
adalah mereka yang selalu memperhatikan keselamatan diri dan orang lain, tidak
pernah berhenti di depan garis pemberhentian, tidak menerobos traffic light
saat warna merah menyala, dan menghormati sesama pengguna jalan raya.
Perilaku
taat lalu lintas ini perlu diterapkan seorang guru sebagai pemberi uswah bagi masyarakat, karena semua orang pada
dasarnya meniru apa yang dilakukan seorang guru. Orang tua adalah guru bagi
anak-anaknya di rumah, dimana sebagian besar dari perilaku orang tua ini ditiru
oleh anak-anaknya. Saya tertarik dengan
pengalaman Catur Guna Yuyun Angkadjaja dari Nagano, Jepang yang pengalamanya di
tulis di wisataseru.com (kemudian ditulis kembali di kompas tanggal 23
September 2011) tentang kesadaran masyarakat Jepang yang mengagumkan, Catur
menjelaskan masyarakat Jepang selalu berhenti sebelum berbelok untuk menengok
apakah di kanan dan kiri ada mobil yang akan berjalan lurus. Mereka selalu
mengutamakan yang berarah lurus daripada membuat diri mereka langsung berbelok
yang dapat berakibat bahaya. Namun hebatnya, ketika mobil dari arah kiri atau
kanan tersebut ternyata juga hendak berbelok, maka dia tidak akan semena-mena
main belok. Melainkan mobil tersebut juga akan berhenti dan membiarkan mobil
yang telah lebih dahulu berhenti, berjalan dulu. Saling pengertian di jalan,
membuat Jepang menjadi terlihat sangat teratur. Pengendara mobil sangat
menghargai pejalan kaki. Jadi, hal yang sangat aman dan nyaman untuk menjadi
pejalan kaki di Jepang.
Adakalanya
kita perlu mencontoh sisi baik masyarakat Jepang yang dalam tertib lalu lintas
ini patut di acungi jempol, kita perlu belajar bagaimana saling mengerti dan
memahami antar pengguna jalan raya agar terciptanya suasana lalu lintas yang
aman, nyaman dan tenteram. Peran pihak kepolisian dalam menegakan hukum di
jalan raya takkan berhasil tanpa adanya dukungan dari masyarakat pengguna jalan
raya secara keseluruhan. Maka dalam hal ini semua komponen pendidikan (pendidik
dan peserta didik) perlu memberi contoh dan sebagai pelopor penerapan tertib
lalu lintas.