*Oleh:Husna Hisaba Kholid
“Sesungguhnya
orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak nampak oleh mereka, mereka
akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”
Orang yang sakit pasti akan berkata jujur tentang penyakitnya dihadapan seorang dokter, karena ada suatu hal yang ditakutinya yaitu ia takut kalau penyakitnya tidak kunjung sembuh. Sama halnya dengan orang-orang yang berada di negeri ini, mereka akan merkata jujur jika ada suatu dzat yang pantas untuk di takuti, namun sayangnya dzat yang pantas ditakuti ini seakan-akan telah hilang sehingga ketidak jujuran dan ketidak adilanlah yang merajalela di negeri ini.
Orang yang sakit pasti akan berkata jujur tentang penyakitnya dihadapan seorang dokter, karena ada suatu hal yang ditakutinya yaitu ia takut kalau penyakitnya tidak kunjung sembuh. Sama halnya dengan orang-orang yang berada di negeri ini, mereka akan merkata jujur jika ada suatu dzat yang pantas untuk di takuti, namun sayangnya dzat yang pantas ditakuti ini seakan-akan telah hilang sehingga ketidak jujuran dan ketidak adilanlah yang merajalela di negeri ini.
Suatu
dzat yang di takuti itu tidak akan muncul kalaulah dzatnya itu tidak di percaya
adanya di dunia ini, maka disinilah pentingnya rasa keimanan seseorang agar
rasa takut itu muncul. Maka keimananlah yang akan menjadi obat bagi penyakit
ketidak jujuran dan ketidak adilan yang merajalela di negeri ini.
Dalam
suatu riwayat Rasulullah bertanya kepada para sahabat:”Mu’min separti apakah
yang paling menngagumkan keimanannya? Mereka menjawab: Malaikat!, lalu beliau
bersabda: Bagaimana para malaikat tidak beriman sedangkan mereka berada di sisi
Alla swt., lalu para sahabat menyebutkan: Para nabi! Kemudian beliau bersabda:
Bagaimana para nabi tidak beriman sedangkan wahyu turun kepada mereka, lalu dengan
percaya dirinya mereka menjawab: kalau begitu kami wahai Rasulullah!, kemudian
Rasulullah membantah kembali atas jawaban mereka “bagaimana kalian tidak
beriman sedangkan saya berada paling nampak diantara kalian. Akhirnya merekapun
balik bertanya kepada Rasulullah saw.”manusia seperti apakah wahai rasulullah
yang paling mengagumkan keimanannya itu?” maka Raslullah saw. Menjawa “ Suatu
kaum yang datang setelah kalian mereka mendapatkan lembaran-lembaran dan mereka
beriman kepada lembaran itu.”
Dengan
kekaguman Rasulullah saw. atas keimanan umat mutaakhiriin apakah cukup dapat
membuat hidup kita tenang dan tentram? Namun Indonesia yang memiliki penduduk
muslim terbanyak seduniapun nyatanya menduduki ranking pertama negara
terkorup se-Asia pasifik. Maka keiamanan yang seperti apakah yang menjanjikan
ketenangan dan ketentraman bagi pemilik keimanan tersebut, sehingga manisnya
keimanan dapat dirasakan.
Hanya
tiga hal yang harus tertananam pada diri seorang muslim agar ia merasakan
manisnya keimanan sebagaimanan sabda Rasulullah saw.: “tiga perkara, barang
siapa yang tertanam tiga perkara itu dalam dirinya maka ia akan merasakan manisnya
keimanan yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari sesuatu apapun,
mencitai dan membenci seseorang karena Allah swt. dan membenci kembali kepada
kekufuran sebagaimana ia benci apabila dicampakan kedalam api neraka.
Manisnya
keimanan yang di gambarkan oleh Rasulullah saw. Merupakan bentuk istia’arah
takhyiliyyah yaitu gaya bahasa pengkhayalan. Hal ini menjadi suatu dalil
sebagaimana apa yang disampaikan oleh imam Bukhari bahwa keimanan seseorang ada
kalanya bertambah dan berkurang, namun bertambah dan berkurangnya keimanan
bukanlah hal yang spontanitas akan tetapi ada penyebab mengapa hal itu terjadi
sebagaimana yang di sampaikan oleh Al-hafidz ibn Hajar Al-Asqalani dalan
kitab Fath al-Barri beliau menganalogikan dengan seseorang yang menderita
penyakit kuning yang merasakan rasa pahit dari madu yang diminumnya sedangkan orang
yang sehat tetap merasakan manis dari madu itu, apakah rasa madu yang berubah?
sehingga madu itu tidak mau menapakan rasa manisnya kepada orang yang sakit
itu? tentu tidak, karena jika
berkurangnya kesehatan seseorang akan berkurang pula rasa manis yang ia rasakan
pada madu itu sebaliknya, jika bertambahnya kesehatan seseorang bertambah pula
rasa manis yang ia rasakan pada madu itu.
Dapat
kita pahami bahwa dengan berkurangnya ketaatan seorang hamba, berkurang pula
rasa manis yang ia rasakan pada keimanannya dan bertambahnya keta’atan seorang
hamba maka akan bertambah pula rasa manis yang ia rasakan pada keimanannya.
Imam
Al-Baidhawi menjelaskan yang dimaksud cinta dalam hadis tersebut ialah
kecintaan akal yaitu apabila seorang di hadapkan dengan dua pilihan maka ia
akan memilih dengan pilihan yang menurut akal bermaslahat bagi dirinya walaupun
keputusan itu bertentangan dengan hawa nafsunya diibaratkan orang yang meminum
obat dalam keadaan sakit ia akan meminumnya karena menurut akal sehat obat itu
bermaslahat bagi dirinya walaupun bertentangan dengan hawa nafsunya.
Jelaslah
seseorang akan lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari apapun karena hal itu
bermaslahat bagi dirinya, sehingga apapun yang diperintah dan dilarang oleh
Allah melalui Rasul-Nya ia akan mentaatinya, karena hal itu bermaslahat bagi
dirinya walaupun perintah dan larangan itu bertentangan bertentangan dengan
hawa nafsunya.
Maka
bagaimana negeri ini dapat merasakan keimanan sedangkan kemaksiatan tetap
dijalankan? Apakah pantas orang yang bermaksiat disebut orang yang beriman
kepada Allah swt.? apakah ada orang yang berzinah dalam keadaan beriman kepada
Allah swt.? sungguh Islam dan iman itu tetap terasa manis akan tetapi
tergantung siapa yang merasakannya.
Di
sadur dari karya monumental Al-Hafidz ibn Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Barri
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaraan