“masih banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau
ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, atau
teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari
sekolah menengah. Mereka akan korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh
mahasiswa semacam tadi.”
-Soe Hok Gie-
Akhir tahun 2013, dunia pendidikan kembali
dikejutkan dengan adanya kasus kekerasan yang berujung dengan meninggalnya Fikri Dolasmantya Surya dalam kegiatan ospek di
Institut Teknologi Nasional (ITN), Malang[1].
Bukan hanya sekali atau dua kali, berkali-kali dunia
pendidikan di coreng dengan kasus kekerasan pada mahasiswa atau siswa baru.
Bukan hanya itu, banyak pihak menilai model orientasi
untuk mahasiswa dinilai konyol, buang-buang waktu dan bodoh[2]. Persepsi ini muncul
dikarenakan terlalu jauh simpangan antara realiasi ospek dan tujuan substansial
ospek itu sendiri. Untuk sekedar mengenalkan kakak kelas, dibuatlah aturan yang
sulit dan aneh. Padahal dengan cara yang biasa, tujuan perkenalan bisa
tercapai. Sebagai contoh, Winarto, mahasiswa Groningen University
memaparkan pengalaman masa orientasi kampus di Belanda yang menyenangkan dan
produktif yang dinamakan introduction week[3]. Mahasiswa
dikenalkan lingkungan kampus, kota tempat mereka tinggal dan tempat-tempat yang
mendukung studi dengan melakukan city tour dan tentu tanpa adanya
kegiatan-kegiatan dengan pakaian dan perintah-perintah aneh.
OSPEK (dok. pribadi) |
Banyak konten kegiatan ospek di Indonesia
yang maknanya sulit dimengerti. Mahasiswa baru diperintahkan untuk senantiasa
mengenakan pakaian yang sudah ditentukan panitia. Namun setelah masa ospek
selesai, banyak mahasiswa baru yang kemudian berpakaian tidak sesuai dengan
aturan universitas. Mahasiswa baru diwajibkan untuk datang tepat waktu, bahkan
datang satu jam sebelum kegiatan dimulai, namun setelah kegiatan ospek selesai,
tidak sedikit mahasiswa yang datang terlambat, bahkan datang saat dosen sedang
menjelaskan materi kuliah. Saat masa ospek, semua tugas yang harus diselesaikan
dituntut untuk sempurna dan cepat, namun setelah lulus masa ospek kemudian
menjabat pengurus organisasi, semua dikerjakan dengan seadanya dan
bertele-tele.
Sejujurnya, ini sangat sulit dipahami. Mahasiswa
baru diajarkan untuk ideal di awal, setelah lulus kegiatan ospek, mahasiswa
seolah ‘dibebaskan’ dari tuntutan tepat waktu, memenuhi tugas, dan berpakaian
rapi. Sehingga muncul anggapan kegiatan ospek hanya sebatas seremoni tahunan,
ajang pembuktian kekuasaan senior, ajang pemenuhan nafsu berkuasa senior dan
anggapan-anggapan negatif lainnya.
Jika masa ospek hanya ditekankan diawal
seperti ini, bukan hanya buang-buang tenaga mendapatkan output yang jauh dari harapan.
Namun juga merusak citra mahasiswa, dan mungkin juga citra universitas.
Hakikatnya, ospek dimulai dari bagaimana
persepsi para senior tentang mahasiswa baru.
Kalau saja para senior menganggap mahasiswa baru sebagai calon-calon intelektual Indonesia masa depan, perlakuan para senior akan jauh lebih sopan dan hormat. Akan tetapi, jika mahasiswa baru dianggap sebagai orang yang tidak tau apa-apa, orang lemah, anak kecil, maka perlakuan para senior cenderung menindas, sewenang-wenang, dan kasar. Di sini sebenarnya titik kekeliruan pola pikir yang sering dijumpai di lapangan. Mahasiswa baru diperintahkan untuk mengukur badan jalan dengan jengkal tangan, atau hal-hal bodoh lainnya, karena dianggap sebagai orang lemah yang bisa ditindas seenaknya.
Kalau saja para senior menganggap mahasiswa baru sebagai calon-calon intelektual Indonesia masa depan, perlakuan para senior akan jauh lebih sopan dan hormat. Akan tetapi, jika mahasiswa baru dianggap sebagai orang yang tidak tau apa-apa, orang lemah, anak kecil, maka perlakuan para senior cenderung menindas, sewenang-wenang, dan kasar. Di sini sebenarnya titik kekeliruan pola pikir yang sering dijumpai di lapangan. Mahasiswa baru diperintahkan untuk mengukur badan jalan dengan jengkal tangan, atau hal-hal bodoh lainnya, karena dianggap sebagai orang lemah yang bisa ditindas seenaknya.
Sejatinya, masa orientasi masa dimana yang muda menghormati yang tua, yang senior menyayangi yang junior. Tanpa adanya rasa hormat dan rasa sayang, baik senior maupun mahasiswa baru, kegiatan orientasi hanya akan menjadi topik negatif tiap tahunnya. Semoga pendidikan Indonesia kian baik!
[1] http://news.detik.com/read/2013/12/13/064647/2440908/10/3-cerita-di-balik-kematian-fikri-mahasiswa-baru-itn-saat-ospek?nd771104bcj
[2] http://www.kaskus.co.id/show_post/51e582721dd719a966000003/3444/update-komeng-agan2-part3
[3] http://winarto.in/2013/09/pengalaman-masa-orientasi-mahasiswa-di-indonesia-dan-di-belanda/
1 Komentar