Hampir genap satu tahun saya
menjadi guru disebuah surau di kaki Gunung Manglayang, kawasan Bandung Timur.
Udaranya masih terasa segar jauh dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan yang
bising dan penuh debu dan karbon dioksida. Akses jalanpun tidak terlalu baik
karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap wilayah pedalaman yang jauh dari
jangkauan pejabat penting. Masih tampak anak-anak bermain di pesawahan atau
para pelajar yang berjalan berbaris menuju sekolah mereka.
Dari kehidupan masyarakat yang
tergolong ekonomi menengah kebawah dan beberapa pendatang dari kota yang
memiliki rumah mewah, beberapa orang masih ditemukan berpendidikan SD (sekolah
dasar) atau SMP (sekolah menegah pertama). Hal ini menimbulkan krisis-kemampuan
bagi beberapa orang-orang yang tinggal disekitar kaki gunung. Zaman telah
berubah, pesawahan pun disulap menjadi villa-villa mewah dan komplek-komplek
baru. Akibatnya penduduk setempat yang bermata pencaharian petani dan
buruh-buruh tani atau ladang kehilangan pekerjaan dan membuat merosot kehidupan
ekonomi.
Keadaan ini bertambah buruk saat
anak-anak para penduduk setempat yang kurang memahami pentingnya pendidikan
memilih untuk menjadikan anak-anak mereka putus sekolah dengan dalih membantu
pekerjaan orang tua, ada yang menjadi buruh bangunan yang mengandalkan orderan,
atau pekerjaan lainya yang kurang membantu kehidupan ekonomi keluarga. Keadaan
ini tidak putus sampai disini, mereka yang kurang memahami pendidikan-pun
seolah buta akan semua pendidikan, sekolah-sekolah yang mengajarkan agama tidak
menjadi alternatif pendidikan yang diandalkan sebagian masyarakat, padahal
sekolah-sekolah ini tergolong murah bahkan tidak membayar biaya sekolah pun
tidak menjadi masalah. Akibatnya anak-anak yang mencapai masa Golden Age
menjadi buta huruf Arab yang menjadi dasar memahami al-Qur’an dan Agama Islam.
Namun ada yang menarik dengan
masjid al-Hidayah, yang berdiri ditengah-tengah penduduk yang tidak terlalu
mementingkan pendidikan. Masjid ini didirikan dengan layak, namun dari hari ke
hari karena penduduk yang juga kurang berpendidikan agama menjadikan masjid
yang menjadi tempat suci bagi umat Islam beralih fungsi menjadi tempat biasa
saja, nongkrong, bahkan ayam dan kucing keluar masuk seenaknya. Sampai
pada akhirnya seorang warga asli Bandung yang sebelumnya menetap di Kalimantan
mengfungsikan masjid sebagaimana mestinya. Beliau mulai mena-aktifkan shalat
lima waktu, adzan kembali berkumandang, dan membangun sekolah agama atau
madrasah dengan kondisi yang sederhana. Tentu hal ini bukan hal yang mudah
untuk penduduk yang tidak terbiasa dengan suasana yang agamis dan kaya akan
nuansa pendidikan. Namun lambat laun akhirnya penduduk sekitar mulai ‘menerima’
dan menyekolahkan anaknya di masjid sekaligus madrasah al-Hidayah tersebut.
Mengubah pola fikir suatu
masyarakat memang bukanlah hal yang mudah, seakan-akan air yang terus membasahi
batu hingga batu itu berlubang. prasangka buruk dan hinaan mungkin saja menjadi
hal yang bisa kita dengar saat kita ‘mendobrak’ tradisi atau budaya suatu
masyrakat. Namun bagaimana pun caranya, kebodohan memang harus kita berantas
bersama sampai ke akar-akarnya.
Hingga bibit-bibit hasil madrasah
al-Hidayah ini yang kelak akan menjadi pusat peradaban bagi penduduk
sekitarnya, yang menjadikan masyarakat yang kaya akan norma agama, menumbuhkan
kualitas kehidupan, dan memajukan perekonomian. Hingga saya sadar dan berbisik
kepada Allah Swt saat melihat anak-anak madrasah melakukan ‘praktek shalat’
setiap hari jum’at;
“ya Allah, jadikanlah mereka
ini orang yang cerdas, yang shaleh, yang kelak mengubah orang tua-orang tua
mereka, mengubah negri ini menjadi negri yang jauh lebih berperadaban.”