Ada suatu budaya yang berkembang di tataran lingkungan kampus
saat penerimaan mahasiswa baru di setiap universitas, baik itu penyambutan oleh
kakak angkatan atau ‘penyambutan’ yang bisa dibilang kuno, malah terkesan
primitif bagi pola fikir seorang mahasiswa.
Betapa tidak, di peralihan era informasi menuju era konseptual ini
banyak mahasiswa yang masih berfikiran jumud, atau tidak berfikir out of the
box, masih mengimplementasikan nilai-nilai kekerasan bertopeng
kedisiplinan, dan perkataan kotor berdalih ketahanan mental.
Hampir
genap dua tahun saya duduk sebagai mahasiswa, menyaksikan berbagai jenis masa
orientasi yang diterapkan, mulai dari pola wawancara yang menerapkan prinsip
egaliterianisme, begitu santun kaka tingkat bertanya pada adik kelas barunya,
juga yang muda begitu hormat menjawab pertanyaan kaka tingkatnya. Pada keadaan
yang lain, mahasiswa baru menunduk dengan perasaan ‘takut’ sembari menyanyi plus
topi segitiga diatas kepalanya ditambah
barang bawaan yang lebih dari normal. Tampaknya model orientasi seperti ini
lebih familiar di ingatan kita, bagaimana mereka harus membawa ‘ minuman tujuh
turunan’ ditambah ‘piramid’, datang pagi sekali, lalu tiba di lokasi siap-siap
untuk disentak tanpa alasan yang masuk akal.
Sebagai
seorang mahasiswa, saya berfikir, lantas apa differensiasi antara siswa dan
mahasiswa? para siswa di SMA melakukan masa orientasi yang modelnya hampir sama
dengan kejadian diatas, bukan konten acaranya, tetapi substansi dari konten
acara tersebut yang lebih mengarah pada pemerkosaan hak-hak siswa atau
mahasiswa baru. Pernah terlintas dalam diri saya, ternyata para kakak angkatan
memberikan model orientasi seperti itu agar menimbulkan kesan bagi adik
tingkatnya, dan ternyata hal itu benar, mayoritas adik tingkatnya merasa
berkesan, tentu kesan buruk kepada kakak angkatan. Darimana saya bisa katakan
hal itu? Mari cermati bersama, mengapa pola orientasi dari tahun ke tahun
hampir sama dan cenderung tetap seperti yang kita lihat? Hal itu karena ada
kesan kurang baik pada adik kelas pada kaka tingkatnya dulu, oleh sebab itu
angkatan yang telah merasakan masa orientasi ‘melampiaskan’ hal yang sama pada
adik kelasnya. Hal ini akan berakibat fatal bagi paradigma awal para mahasiwa
yang seolah di didik untuk menjaga warisan budaya sentak-sengor(sunda:menyentak
dengan kasar).
Masa
Orientasi mahasiswa baru harus diperlakukan sebagai Instrumen kaderisasi yang
efektif juga jitu memecah perbedaan angkatan, senioritas juga batas pertemanan.
Islam telah mengajarkan kepada kita agar memperlakukan yang kecil dengan kasih
sayang, dan memperlakukan yang lebih tua dengan rasa hormat. Sebagai seorang
muslim, sudah cukuplah bagi kita menjadikan hal ini sebagai basis masa
orientasi, menghargai mahasiswa baru sebagai manusia yang merdeka, tanpa ada
kekangan senioritas, dinding keangkuhan usia, atau sebuah hegemoni angkatan
yang terkesan menjelma menjadi sebuah kekuatan tangan besi.
Dari
kesadaran diatas, sudah sepantasnya bagi kita bersikap objektif dalam menyikapi
sesuatu, tanpa embel-embel pembelaan pada kawan dekat atau kelompok
tertentu, atau sebuah pemikiran ketakutan kalah pengaruh. Sudah saatnya bagi
kita keluar dari berbagai macam kejumudan pola fikir, keluar dari alasan
hukuman push-up sebagai alasan untuk olahraga dan kesehatan, padahal
kita tahu olahraha yang menyehatkan itu bukan satu atau dua kali, tetapi harus
rutin dengan frekuensi yang ditentukan. Sudah tiba waktunya bagi para mahasiswa
merasa senang dengan pengumuman akan ada masa orientasi dikarenakan para kaka
tingkat yang welcome menerima adik tingkatnya secara tulus dan ikhlas
mendidik, seperti halnya petani yang merawat tanamanya agar tumbuh subur juga
besar.
Tulisan
ini bukan saya maksudkan untuk sekedar curahan hati atau malah provokasi,
tulisan ini semata-mata ingin membuka
pola fikir kita bersama menuju masa depan yang lebih baik, karena dengan
sebuah harapan dan optimisme kita akan menjalani masa depan yang cerah
bersamaan, masa depan yang diberkahi, penuh dengan kebahagiaan dan kekompakan.