Advertisement

Responsive Advertisement

Ketika 48% Millenial Tidak Lagi Menganggap Childfree Marriage Adalah Tabu

Awal tahun ini, IDN Media merilis sebuah laporan berjudul “Indonesia Millenial Report 2022”. IDN Media menuliskan bahwa 48% millenial ternyata tidak menganggap childfree marriage sebagai tabu.


Mereka yang menganut childfree marriage ternyata memiliki alasan yang beragam.
Cinta Laura memiliki alasan bahwa dunia saat ini telah kelebihan populasi. Di sisi yang lain, masih banyak anak yatim terlantar dan membutuhkan kasih sayang.

Aku mau bantu mereka” kata Laura, “kenapa aku harus melahirkan?
Walaupun tidak menutup kemungkinan bagi Laura untuk berkeluarga dan memiliki anak di masa depan nanti.

Miley Cyrus pernah mengungkapkan alasannya memutuskan childfree karena takut dengan kondisi dunia saat ini. Sejak kebakaran hebat yang menghanguskan rumahnya di Malibu pada 2018, Cyrus merasa jika anak yang dilahirkannya akan terancam bahaya.

Saya kaget ternyata mereka yang saat ini memutuskan childfree marriage adalah mereka yang mengalami kejadian traumatik di masa lalu.

Barangkali benar, sebagian mereka memutuskan childfree marriage untuk menyelamatkan lingkungan atau populasi global. Tapi kebanyakan, alasannya karena kejadian traumatik di masa lalu.

Pertanyaanya sekarang, apakah childfree marriage adalah hal yang negatif? Apakah kehadiran anak merupakan beban, sehingga perlu dicegah?

Generasi millenial adalah mereka yang pada tahun 2023 ini berumur 26-42 tahun. Dengan kata lain, sebagian besar dari mereka adalah digital native. Mereka terhubung ke internet dan informasi-informasi global--yang memungkinkan mereka untuk mengadopsi pemahaman-pemahaman barat.

Menurut Riana Oktavia, Mereka yang memilih childfree marriage, diantaranya, dikarenakan belum siapnya menjadi orang tua. Ketidaksiapan ini bisa jadi disebabkan oleh adanya luka pengasuhan, atau adanya kesalahan pola asuh di masa lalu.

Mereka sebenarnya memiliki niatan baik; Mereka tidak ingin anak-anak yang mereka lahirkan mengalami kejadian buruk seperti yang pernah dialami dulu.

Negatif atau tidak, sangat bergantung pada dari mana kita mengambil nilai (value). Saya pribadi mengambil nilai Islam untuk menjalani pernikahan. Childfree Marriage tidak diperkenankan dalam nilai yang saya anut. Karena bertentangan dengan tujuan pernikahan itu sendiri; hifdzunnasi (menjaga keturunan).

Bagi saya, merebaknya childfree marriage bukan tentang pilihan punya anak atau sekedar cara untuk tetap awet muda. Namun ini tentang kegagalan parenting di tengah masyarakat kita.

Parenting macam apa yang menghasilkan generasi yang tak mau melanjutkan keturunan? Luka sebesar apa yang digoreskan sehingga ia masih ternganga hingga saat ini?

Memang benar, mungkin sebagian besar orang tua membesarkan kita dengan cara keras dan tegas.

Namun, itu semua tidak bisa kita jadikan alasan untuk menyakiti anak-anak kita sekarang. Atau lebih jauh lagi, menjadi alasan untuk mencegah kehadiran mereka.

Anak-anak adalah ladang amal bagi orang tuanya. Bagi seorang ayah, setiap rupiah yang kita sedekahkan untuk menghidupi keluarga akan menjadi sel-sel otak, tulang dan otot-otot anak-anak. Dengan tubuh itu, anak-anak dapat beramal shalih. Maka, sejatinya kita sedang menanam saham kebaikan di tubuh mereka.

Begitu pun untuk seorang Ibu. Setiap kosa kata yang diajarkan pada anak akan menjadi dasar baginya untuk bertutur. Dengan kemampuan itu, anak-anak dapat mengkomunikasikan hal-hal yang baik. Maka, sejatinya kita sedang menanam saham kebaikan dalam diri mereka.

Maka, ketika membesarkan anak dengan seluruh sumber daya yang kita miliki sebenarnya kita sedang berinvestasi.

Bedanya, ia takkan terasa di dunia ini. Melainkan dapat kita nikmati di akhirat nanti.


Posting Komentar

0 Komentar